Selasa, 07 Oktober 2008

Langit Biru Parangtritis

Oleh: joeni astoeti



Rara baru pulang dari kampus. Wajahnya Nampak berseri-seri yang membuat Rahadi heran. Tidak biasanya ia ceria seperti itu. Dengan penasaran Rahadi bertanya pada adik perempuannya itu.
"Kamu seneng banget kelihatannya. Baru dapet hadiah ya?"
Rara menggeleng penuh misteri.
"Dapet pulsa gratis!"
"Bukan…" jawab Rara seraya masuk ke kamarnya.
Ada apa sama dia? Batin Rahadi terus bertanya-tanya. Ah, nanti malam saja aku tanyain lagi.Malamnya, Rahadi seperti biasa duduk di teras sambil membaca buku. Tiba-tiba Rara muncul di pintu dengan membawa sebuah buku. Gadis yang masih kuliah semester empat itu senyum-senyum pada kakaknya.

"Mas…" panggilnya.Rahadi menoleh,
"Apa De?""Rara mau tanya, boleh?"
"Boleh, sini…."Rara mendekat, lalu menatap Rahadi malu-malu.
"Mas, bikin CV gimana sih?"
"CV? Lha biasa aja kok. Emang kamu ikut organisasi apa lagi? Apa kurang banyak tuh organisasi yang kamu ikuti?"
Rara tersipu malu, "CV buat ta'aruf Mas…"Rahadi terkejut. Ia seakan baru menyadari kalau adiknya itu sudah besar.
Sudah dua puluh tahun. "Kamu…sudah siap nikah? Sama siapa ta'arufnya? Anak mana? Mas kenal tidak?"
"Makanya, bantuin dulu bikin CV-nya. Nanti Mas juga tahu sendiri kok.."
"Kenal di mana? Hayooo diem-diem kamu punya gebetan juga ya De? Eh, emangnya kenapa kamu mau ta'aruf sama dia?"
Rara makin tersipu malu. "Mau bantuin gak nih..?"
"Dasar anak muda zaman sekarang. Pake istilah ta'aruf segala! Biar kelihatan keren ya? Padahal makna ta'aruf itu luas De. Gak hanya terbatas pada perkenalan ikhwan dan akhwat yang mau menikah.

Dalam al-Qur'an kan jelas, kita diciptakan dari laki-laki dan perempuan, bersuku-suku dan berbangsa-bangsa * agar kamu saling mengenal. Jadi gak hanya lingkup ikhwan dan akhwat. Eh kalian malah membatasinya. Harusnya jangan pake istilah ta'aruf ah. Ganti! Tanazhur aja!

Memperhatikan!""Mas, aku nanya CV, bukan mau denger kuliah Mas… Cape deh…"
"Gini ini anak muda zaman sekarang, kalau dikandani * mesti ngeyel gini…" kata Rahadi seraya mengusap kerudung Rara yang berwarna hijau. Rara tertawa kecil.

***Keesokan harinya Rara mengirimkan CV-nya kepada Azwar, lelaki yang beberapa hari lalu mengajaknya berta'aruf. Rara pun sudah menyimpan CV Azwar, ia langsung pulang setelah selesai perkuliahan untuk segera membaca biodata lelaki itu.Di depan monitor, Rara senyum-senyum. Rupanya begini toh CV buat ta'aruf? Hihi, lucu sekali ya? Ada alasan menikah, ada kriteria istri, ada rencana ke depan, ada kekurangan, keorganisasian, hihihi…

Rara bergumam sendiri. Ia geli mengingat CV yang ia buat justru tak selengkap punya Azwar. CV-nya persis CV untuk daftar organisasi. Ada motto, hobi, cita-cita dan sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan pernikahan. Wah..Mas Adi salah kasih informasi nih…Rara pun sebenarnya sudah lama mengenal Azwar, namun ia tak menyangka akan sampai pada tahap ta'aruf. Baginya ini pertama kalinya ia menerima ajakan ikhwan untuk berta'aruf menuju jenjang pernikahan. Memang kurang pengalaman, dan Rara tiba-tiba malu.

Ia merasa sudah dewasa, bukan anak-anak lagi. Tak terasa waktu cepat sekali berlalu. Masa kanak-kanak telah meninggalkannya. Kesibukannya di organisasi membuatnya lupa kalau suatu hari nanti ia harus menikah.Tiba-tiba HP-nya berdering. Azwar meneleponnya! Aduuuh, kalau ngobrol sama ikhwan di telepon gimana ya? Apalagi ini kepentingannya bukan organisasi di kampus, melainkan organisasi rumah tangga. Huft…tenang Ra, tenang… Rara menenangkan dirinya sendiri. Ia mencoba untuk menetralisir keadaannya.
"As…salamu'alaikum…" sapa Rara
"Alaykumsalam, Ra…" jawab Azwar di seberang telepon.
"Iya Kak.."
"Lagi apa? Rara udah baca CV Azwar?"
"Udah…"
"Gimana?"
"Gimana apanya? Bagus…ada warnanya. Gak kayak punya Rara, jelek."
"Punya Rara bagus juga kok…"
"Tapi Kak, gimana nih bermasalah gak? Kakak tahu sendiri Rara aktif di banyak organisasi. Sedangkan Kakak sama sekali gak minat dengan hal-hal semacam itu. Apa itu bermasalah?"
"Oh, tidak masalah… Azwar memang lebih fokus pada tujuan pribadi, jadi kurang minat pada organisasi… Tapi Azwar mendukung kegiatan Rara.."Rara bernafas lega,
"Oh, syukurlah…" Rara teringat pada kriteria istri yang Azwar kehendaki. "Oh ya Kak, mengenai kriteria istri…."
"Kenapa Ra?"
"Kakak maunya yang tinggi badannya lebih dari 155 cm ya?""Itu memang salah satu syarat dari orangtua Azwar. Mereka memang sangat sensitif kalau masalah tinggi badan. Azwar berkali-kali di-warning supaya cari jodoh yang tingginya lebih dari 155. Bahkan dulu pernah punya teman yang kurang dari 155 gitu, Bapak langsung menegur. Padahal baru teman, bukan pacar atau calon. Gimana kalau sudah jadi calon ya? Azwar gak ngerti deh.. hehehe"

Rara merasa terhempas. Uh, Kak Azwar belum tahu ya kalau tinggi Rara semampai? Semeter tak sampai? Rara diam tak menjawab saat Azwar berulangkali memanggilnya."Ra, are you there?"
"Ya, Kak…""Ada apa kok diem?""Rara 150! Pasti Rara langsung ditolak sama orangtua Kakak."Kini Azwar yang diam. Ia tidak tahu apa yang akan orangtuanya katakan kalau tahu calon menantunya itu liliput, tak sesuai dengan kriteria yang mereka tetapkan.Percakapan itu segera Rara akhiri. Ia tahu apa yang akan terjadi. Ya, ta'aruf pertamanya gagal. Ia tidak ingin bermasalah dengan calon mertuanya, lebih baik memang tidak dilanjutkan.

Tapi ia tak habis mengerti, mengapa masih ada orang yang mempermasalahkan kekurangan fisik sedangkan Allah saja sama sekali tak membedakan makhluk-Nya? Semua sama di hadapan-Nya, yang membedakan hanya ketaqwaannya. Aku juga gak mau jadi orang pendek! Tapi Allah menciptakanku dengan tubuh imut seperti ini jelas bukan salahku. Uh, kenapa ini harus terjadi padaku? Rara nampak bersedih atas kejadian ini. Rasanya ia ingin agar perkenalannya dengan Azwar tidak terjadi. Spontan saja airmatanya menetes. Aku cengeng sekali…Rara keluar rumah.

Ia menstarter motornya lalu melaju di gang-gang desanya menuju jalan raya. Ia memang tidak mungkin melanjutkan prosesnya dengan Azwar, dan ia juga yakin Azwar akan memutuskannya. Satu sisi hatinya berbisik untuk tidak menyerah begitu saja. Namanya tantangan itu pasti ada, apakah kita akan bertahan atau menyerah? Tapi Rara juga memahami keinginan orangtua Azwar.

Baginya ridlo orangtua adalah ridlo Allah juga. Masih banyak akhwat lain yang jauh lebih baik dariku, lebih solehah, dan lebih tinggi. Rara tak tahan juga untuk tidak menangis. Di jalan raya begini, agak ngebut, airmatanya terbang bersama angin. Akhirnya ia sampai di parkiran pantai Parangtritis. Ia sengaja memilih bagian pantai yang paling sepi pengunjung seperti kebiasaannya kalau sedang ingin merenung seorang diri. Ia bisa betah berlama-lama duduk di pasir, sambil memandangi laut yang luas dan membiarkan ombak menjilati kakinya yang terbalut kaos kaki. Angin membelai wajahnya, memain-mainkan kerudungnya yang lebar.

Wangi asin pantai ini tak semerbak seperti pantai Depok yang ada di dekat pantai Parangtritis. Semakin banyak wisatawan, keaslian pantai semakin hilang. Mungkin lama-kelamaan pantai Depok juga akan kehilangan keasliannya.Rara memejamkan mata. Selesai sudah… akhirnya aku gagal… hufth…. Rara merasakan angin pantai mulai merasuki setiap rongga tubuhnya. Ia ingin bersenyawa dengan laut, angin, ombak, pantai, dan….langit biru…Setiap bersendiri seperti itu, ia merasa sedang melakukan latihan yoga yang bisa menenangkannya. Tapak kaki kuda dan hiruk pikuk pengunjung yang bermain ombak tak ia pedulikan. Ia merasa deburan ombak itu tengah berbicara dengannya.

Aku tidak gagal. Aku hanya belum menemukan orang yang tepat. Setiap keputusan, tak hanya bernilai risiko tapi juga ada manfaat dan hikmahnya…. Pasti suatu hari nanti aku akan menemukan seseorang yang mau menerimaku apa adanya tanpa melihat tinggi badan atau lainnya.

"Ra, kamu di mana?" Rahadi mengirim pesan pendek. Rara baru sadar kalau motor itu punya Masnya dan Rara lupa meminta izin untuk meminjamnya."Rara di Paris , Mas…"
Rara langsung menelepon Masnya."Haduh…kok ndak izin disik? Mas kan mau nganter pesanan gerabah nih buat mantenan temen Mas…"
Rahadi memang punya usaha pembuatan gerabah untuk souvenir pernikahan."Ngapunten Mas…""Halah kamu bisanya maaf-maaf aja. Ngapain sih di pantai! Pulang!"
"Bercengkrama dengan ombak…"
"Mulai deh puitis lagi…! Ati-ati nanti kebawa air pasang kayak waktu itu!"
"Iya, iya…."
"Yo wis, Mas pinjem motor Pakde saja. Kamu pulangnya jangan kemaleman ya De?" lalu Rahadi menutup teleponnya setelah mengucapkan salam.Rara kembali memandangi ombak. Ia teringat waktu ia tidak diterima di universitas impiannya gara-gara tingginya tidak mencapai standar yang ditetapkan.

Ia ingat saat itu ia menangis dan menyendiri di pantai seperti saat ini. Ombak yang akan selalu datang kembali ke pantai meski sejauh apapun ia berkelana di samudra luas. Meski menjadi gelombang sebesar apapun, ia akan terus kembali ke pantai. Begitu juga harapan.

Walau di mata kita ia nampak berlalu meninggalkan kita, sejatinya ia tak akan pernah meninggalkan kita. "Tapi ombak yang datang lagi itu bukan ombak yang sama, Ra…"
Komentar Rahadi waktu itu."Harapan juga demikian. Bisa jadi yang datang itu bukan harapan yang sama seperti yang meninggalkannya dahulu. Tapi toh ia tetap bernama harapan. Dan pantai selalu sabar menanti datangnya ombak. Kita gak boleh berputus asa dari rahmat Allah kan Mas?" Rara mempertahankan pendapatnya.

"Sak karepmu lah. *3 Kamu yang sedih, lha malah kamu yang berpuitis gitu! Ada juga Mas yang menghibur kamu… Eh, ini kamu sendiri yang menghibur diri sendiri…"Rara tersenyum mengingat percakapan itu. Terakhir kali, Rara meneteskan airmata saat matahari terbenam. Sunset yang luar biasa indah…Subhanallah….Ia sudah hampir dua jam berada di sana sendirian. Sejak langit masih biru, hingga berubah jingga karena matahari telah bersembunyi untuk sementara waktu. Esok, bila masih ada usia, aku pasti akan melihat langit biru lagi seperti hari ini. Biar kisah kami itu menjadi hikmah…

Serang, 19 Juli 2008-------------------------------------------------1. Qs. Al Hujurat 132. Dikandani = dinasehati3. Sak akrepmu lah = terserah kamu lah
dipublikasikan oleh:www.islamuda.com
[31/07/08 - 11:32:05]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar